MEDIA AN NUUR─Jumat, 3 Februari 2023, bakda Isya di Gedung Dakwah Muhammadiyah Weru (Kalisige), kembali dilaksanakan pengajian rutin malam Sabtu. Diselenggarakan oleh Korps Mubaligh Muhammadiyah Cabang Weru. Malam ini pembicara dari Majelis Tarjih Jawa Tengah, Ustaz H. Sholahuddin Sirizar, Lc, M.A (Direktur Ponpes Imam Syuhodo).
Pada kesempatan ini Ustaz Sholahuddin Sirizar menjawab pertanyaan dari salah seorang jemaah Weru yang disampaikan melalui WhatsApp. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum pernikahan wanita hamil karena zina.
Ustaz Sholahuddin Sirizar jelaskan tentang pernikahan wanita hamil |
Diawali dengan membacakan ayat yang berisi tentang perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi. Yakni yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa' ayat 22 sampai 24.
وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَآ ؤُكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً وَّمَقْتًا ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 22)
Allah melarang kita menikahi perempuan yang telah dinikahi ayah kita, atau ibu tiri kita. Perbuatan ini dibenci Allah dan merupakan jalan yang sangat buruk. Ayat selanjutnya, masih menyebutkan perempuan-perempuan yang tak boleh dinikahi.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَ خِ وَبَنٰتُ الْاُ خْتِ وَاُ مَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْۤ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَ خَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَا عَةِ وَ اُمَّهٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَآئِكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ ۖ فَاِ نْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَآئِلُ اَبْنَآئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَا بِكُمْ ۙ وَاَ نْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُ خْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 23)
وَّا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَآءِ اِلَّا مَا مَلَـكَتْ اَيْمَا نُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُ حِلَّ لَـكُمْ مَّا وَرَآءَ ذٰ لِكُمْ اَنْ تَبْتَـغُوْا بِاَ مْوَا لِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَا فِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰ تُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗ وَلَا جُنَا حَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرٰضَيْـتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْـفَرِيْضَةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa' 4: Ayat 24)
Menurut ayat di atas, selain yang telah disebutkan sebagai perempuan yang tidak diperbolehkan dinikahi, maka di luar itu semua pada dasarnya boleh dinikahi. Nah, kembali pada masalah apakah bisa menikahi wanita hamil?
Pendapat Ulama Mazhab tentang Nikah Hamil
Sekarang kita coba simak bagaimana pendapat para ulama yang memang ada beberapa perbedaan.
Pendapat Hanafiyah
- Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak
- Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melahirkan
- Boleh menikah dengan orang lain asal sudah melahirkan
- Boleh menikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibra' (masa menunggu bersih dan sucinya seseorang setelah hamil dan melahirkan)
Pendapat Malikiyah
Tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus tobat terlebih dahulu
Pendapat Syafi'iyah
Menikahkan wanita hamil dengan laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain yang tak berzina dengannya diperbolehkan dan akad nikahnya tetap sah tanpa ada persyaratan tobat dan melahirkan sebelum menikah. Akan tetapi apabila yang menikahi bukan yang menghamilinya dilarang berhubungan badan sampai melahirkan.
Pendapat Hanabilah
Tidak sah nikahnya kecuali bertobat dan melahirkan sebelum pernikahan. Apabila keduanya melangsungkan pernikahan tanpa bertobat maka nikahnya tidak sah dan dibatalkan, sampai dua syarat itu dipenuhi maka pernikahan dapat dilangsungkan kembali.
Yang diberlakukan di Indonesia
Dalam menghukumi pernikahan perempuan hamil, KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam dan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.
Bapak-bapak menyimak kajian |
Mengenai menikah dalam kondisi hamil dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil Pasal 53 dan 54. Adapun isi dari permasalahan tersebut adalah pada Pasal 53.
- Ayat 1 menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya
- Ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
- Ayat 3 yaitu dengan dilangsungkannya perkawinan saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.
Fatwa Tarjih Muhammadiyah tentang Nikah Hamil
- Fatwa lama: Pernikahan hanya sah apabila yang menikahi adalah laki-laki yang menghamilinya
- Fatwa baru: Pernikahan sah, baik laki-laki itu yang menghamili atau bukan yang menghamili
Dengan catatan bahwa pernikahan tersebut tidak menghapus dosa berzina sebelumnya. Kemudian, anak yang lahir dari perbuatan zina walinya adalah dari pihak keluarga wanita tersebut.
وَا لّۤـٰـئِـيْ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍ ۙ وَّا لّۤـٰـئِـيْ لَمْ يَحِضْنَ ۗ وَاُ ولَا تُ الْاَ حْمَا لِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۗ وَمَنْ يَّـتَّـقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ یُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. At-Talaq 65: Ayat 4)
Ayat tersebut mengatakan tentang masa iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan. Lalu mengapa boleh nikah hamil bagi pezina? Argumentasinya adalah bahwa, masa iddah hanya dimiliki oleh seorang istri dengan pernikahan yang sah. Sementara zina di luar nikah tidak menyebabkan adanya masa iddah.
اَلزَّا نِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَا نِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖ وَّ الزَّا نِيَةُ لَا يَنْكِحُهَاۤ اِلَّا زَا نٍ اَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur 24: Ayat 3)
Ayat di atas menyatakan bahwa perempuan pezina diperuntukkan bagi laki-laki pezina. Sedang untuk laki-laki yang tidak berzina (menghamilinya) larangan agama hanya menunjuk ketidakpantasan (kemakruhan) bukan pengharaman.
Kemudian ada yang mengaitkan dengan hadis larangan menggauli wanita hamil berikut ini.
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِينَا خَطِيبًا قَالَ أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى
“Rufaifi' bin Tsabit Al Anshari, ia berkata ketika berkhutbah kepada kami; ketahuilah bahwa aku tidak berbicara kepada kalian kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ. Pada saat perang Hunain beliau berkata: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk menyiramkan airnya kepada tanaman orang lain -yaitu menggauli wanita-wanita yang sedang hamil.” (HR. Abu Daud)
Argumentasi yang dipakai Muhammadiyah adalah bahwa pada prinsipnya, wanita muslimah (yang bukan mahram) sah untuk dinikahi laki-laki muslim. Sehingga makna hadis tersebut bahwa yang haram dinikahi/digauli adalah yang sudah dimiliki orang lain (istri orang).
Sperma yang masuk ke wanita yang hamil, tidak merusak atau mencampuri janin, artinya wanita yang sedang hamil tidak bisa hamil lagi dalam waktu hamil tersebut.
Demikianlah penjelasan Ustaz Sholahuddin Sirizar tentang nikah hamil. Semoga memberikan pencerahan pada kita yang mungkin selama ini banyak dibingungkan oleh kasus serupa. Kasus pernikahan wanita hamil di luar nikah yang semakin banyak terjadi di sekitar kita. Demikian, semoga bermanfaat.